
Akhir-akhir ini, situasi demokrasi di Indonesia mencerminkan lanskap yang kompleks dan terus berkembang. Meskipun negara ini telah membuat langkah signifikan dalam mengonsolidasikan demokrasi sejak jatuhnya rezim otoriter Suharto, banyak orang Indonesia masih menghadapi masalah kepercayaan kepada lembaga dan pemimpin atau pejabat publik. Bahkan belum lama, viral sebuah lagu berjudul “Bayar Bayar Bayar” oleh Sukatani Band yang menyoroti kekhawatiran ini. Sayangnya personel band tersebut justru direpresi karena lirik lagunya yang dianggap mencederai lembaga tertentu. Hal ini menunjukkan kegagalan sistem demokrasi untuk sepenuhnya memenuhi janji tentang keadilan dan kesetaraan. Padahal, kapasitas warga negara untuk berpartisipasi aktif dan terlibat dalam proses demokrasi merupakan landasan dari setiap sistem demokrasi yang berfungsi dengan baik.
Michael A. Neblo dan Euchan Jang misalnya, dalam studi mereka “Citizen Capacity for Democracy” menekankan bahwa keterlibatan demokratis bukan hanya tentang pemungutan suara tetapi tentang tingkat keterlibatan yang lebih dalam, di mana warga negara memiliki kemampuan untuk mengevaluasi kebijakan secara kritis, terlibat dalam musyawarah publik, dan memengaruhi keputusan pemerintah. Partisipasi aktif ini penting untuk kesehatan sistem demokrasi. Dalam konteks Indonesia, demokrasi muda yang masih dalam masa transisi, tantangannya terletak pada pengembangan kapasitas warga negara. Meskipun ada kemajuan yang telah dicapai sejak jatuhnya rezim Suharto, banyak warga Indonesia masih menghadapi hambatan untuk berpartisipasi penuh, termasuk akses terbatas ke pendidikan politik, ketidakpercayaan pada lembaga pemerintah, dan pengaruh uang dalam politik. Masalah-masalah ini melemahkan potensi keterlibatan demokrasi yang lebih dalam dan menyoroti perlunya pendidikan dan reformasi kewarganegaraan lebih lanjut.
Dalam studi lainnya oleh Gilda Hoxha, “Albania—Duality of Democracy Through Power and Protest“, menyoroti paradoks sistem demokrasi modern di mana kekuasaan yang seharusnya didistribusikan di antara warga negara melalui lembaga-lembaga demokrasi justru terpusat di tangan para elit. Dualitas ini—antara struktur demokrasi formal dan kekuasaan yang dipegang oleh elit politik—juga bergema di Indonesia. Sementara negara itu menyelenggarakan pemilihan umum secara teratur dan menikmati kerangka demokrasi, realitasnya jauh lebih rumit mulai dari penguasaan oleh elit, sistem patronase, hingga korupsi yang terus berlanjut pada akhirnya merusak semangat demokrasi yang sebenarnya. Hoxha menggarisbawahi peran protes dalam menantang ketidakseimbangan tersebut.
Secara lebih spesifik, Marcus Mietzner dalam “The Limits of Autocratisation in Indonesia,” berpendapat bahwa meskipun Indonesia telah membuat langkah besar dalam demokratisasi, negara ini masih rentan terhadap “otokratisasi” karena masih adanya konsentrasi kekuasaan di kalangan elit dan lemahnya lembaga-lembaga demokrasi. Struktur kekuasaan yang tersebar di Indonesia, di mana elit lokal mempertahankan pengaruh yang signifikan, bertindak sebagai penyeimbang terhadap potensi pergeseran otokratis. Namun, penyebaran kekuasaan ini juga mempersulit pengembangan sistem demokrasi yang kuat dan kohesif. Analisis Mietzner menunjukkan bahwa meskipun Indonesia tidak berada di ambang otokrasi penuh, tantangan yang ditimbulkan oleh lembaga-lembaga yang lemah dan persaingan elit menciptakan lingkungan demokrasi yang rapuh. Dinamika ini membatasi kemampuan negara untuk sepenuhnya merangkul reformasi demokrasi dan memastikan sistem yang melayani semua warga negara secara adil.
Literatur yang diulas di atas menyoroti pergulatan yang sedang berlangsung antara cita-cita demokrasi dan realitas kekuasaan politik. Baik itu kapasitas warga negara yang terbatas untuk terlibat secara demokratis, dualitas kekuasaan dan protes seperti yang terlihat di Albania, atau risiko otokratisasi seperti yang terlihat di Indonesia, faktor-faktor ini menunjukkan perlunya sistem demokrasi yang lebih kuat dan partisipatif. Peta literatur ini menyoroti kompleksitas transisi demokrasi, khususnya di negara-negara demokrasi muda seperti Indonesia, di mana kekuasaan sering kali terfragmentasi, dan partisipasi warga negara menghadapi hambatan yang signifikan. Dengan memetakan berbagai hal ini, menjadi jelas bahwa studi demokrasi memerlukan pendekatan interdisipliner, yang menggabungkan teori politik, studi tata kelola, dan analisis konteks lokal.
Kedepannya penelitian dapat lebih banyak berkutat pada studi komparatif tentang mekanisme yang mencegah otokratisasi sehingga dapat memberikan wawasan kritis tentang bagaimana demokrasi dapat lebih baik melawan kemundurannya. Selain itu, penelitian yang menyelidiki kompleksitas representasi politik, dengan fokus pada kelompok-kelompok terpinggirkan dan pengalaman mereka dalam sistem demokrasi, dapat lebih memperkaya literatur dan memberikan pemahaman yang lebih inklusif tentang demokrasi.